Label

TULISAN-Q (317) Album_Q (183) vidio-Q (175) kayu aro (162) gunung kerinci (26)

Kamis, 01 Juli 2010

ARTIIKEL PENDIDIKAN

Apa Itu Teknologi Pendidikan?

Sejak saya membaca artikel "Mahasiswa Baru TP bingung tentang TP" kemarin saya tidak habis pikir, bukan hanya mahasiswa, tetapi kelihatannya banyak pihak di lingkungan teknologi pendidikan juga bingung.

Waktu saya masuk bidang elektronik di salah satu universitas tahun 1971 saya kira ini pekerjaan elektronik biasa, seperti bekerja di perusahaan atua di pabrik. Saya tidak tahu ini akan merubah kehidupan saya selama hidup. Elektronik sudah hobi saya sejak umur 12 tahun, dan pada waktu itu hobiny adalah membuat Crystal-Set (radio memakai satu diode germanium).

Tahun 1971 saya bekerja di Fakultas Electrical dan Electronic Engineering, dan tugas kami pada waktu itu adalah membuat modul-modul untuk pembelajaran elektronik. Sering dosen mempunyai konsep yang mereka ingin mengajar dan perlu modul untuk praktiknya. Kami biasanya membahas beberapa pilihan (option) dulu dan membuat modul sesuai dengan yang dosennya merasa

Sebagai Ilmuwan Teknologi Pendidikan (TPer Profesional) kita bertanggungjawab untuk memasitikan bahwa semua jenis teknologi dari yang paling sederhana (dan sering paling efektif), sampai yang paling canggih digunakan sebaik mungkin.

Kita tinggal di Indonesia di Planet Earth (Bumi) Sekarang, dan keadaan kita di bidang pendidikan sangat memprihatinkan, dan kemungkinan kita dapat mulai menggunakan e-learning di semua sekolah umum masih sepuluh lebih tahun ke depan, dan negara-negara lain sangat ragu-ragu mengenai peran teknologi sebagai cara utama pembelajaran di sekolah TK-SMA3.

Apakah kita akan menunggu sampai prediksinya "Ramal-Ramal

"TPer yang Profesional" dan bergerak untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara kita dengan semua sumber teknologi yang ada - sekarang!

Bacaan terkait: http://Kebijakan.Com

http://teknologipendidikan.com/solusi.html#2.000 [ diakses pada 25 juni 2010 ]

Facebook Sebabkan Mahasiswa Malas dan Bodoh

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengguna Facebook yang masih sekolah berhati-hatilah! Menurut studi yang dilakukan oleh Ohio State University, semakin sering Anda menggunakan Facebook, semakin sedikit waktu Anda belajar dan semakin buruklah nilai-nilai mata pelajaran Anda.

Begitu tertulis dalam laporan studi yang mengambil sampel 219 mahasiswa Ohio State University tersebut. Namun penulis laporan mengatakan, laporannya hanya memperlihatkan kemungkinan hubungan antara penggunaan Facebook dan menurunnya nilai-nilai yang Anda peroleh di sekolah.

Faktanya, jika Anda pengguna Facebook, kemungkinan besar Anda selalu ingin mengetahui status yang dikabarkan oleh teman-teman Anda. Kenikmatan semangkuk baso, asyiknya irama jazz, foto-foto pesta teman-teman dekat Anda, dan pertanyaan-pertanyaan yang berharap mendapatkan komentar karena Anda ingin memastikan seseorang di jaringan pertemanan Anda sedang membaca tulisan Anda memang sangat menggoda hati dan juga menyita waktu Anda. Akhirnya, Anda mungkin terpicu untuk menulis hal-hal tak penting, membaca hal-hal sepele, dan juga berpikir secara tak cerdas.

Untunglah bukan itu yang dilaporkan oleh peneliti Ohio State University. Namun disebutkan bahwa 65% mahasiswa setiap hari mengakses Facebook minimal satu kali dan menghabiskan setidaknya satu jam di laman tersebut. Yang menarik, 79% dari pengguna Facebook merasa bahwa menggunakan laman tersebut tidak mempengaruhi kualitas pekerjaan mereka. Namun yang terpengaruh adalah nilai ujian.

?Ini ibarat perbedaan antara dapat nilai A dan B,? kata Aryn Karpinski, peneliti Ohio State yang menanyai 219 mahasiswa untuk penelitiannya.

wiek

Sumber: Kompas.Com

http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/04/15/10590447/

Facebook.Sebabkan.Mahasiswa.Malas.dan.Bodoh

http://beritapendidikan.com/mod.php?mod [ diakses pada 25jjuni 2010 ]

Pembelajaran MIPA Berbasiskan Budaya

MIPA dikenal sebagai suatu bidang yang harus dipelajari di sekolah. Memang disadari kalau MIPA sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Kemajuan MIPA akan berdampak bagi kemajuan transformasi masyarakat yang juga berhubungan dengan ekonomi dan sosial suatu bangsa.

Namun kenyataannya, belajar MIPA sebagai sesuatu yang membosankan. Bikin pusing karena harus menghapal rumus-rumus yang panjang-panjang sedangkan belum tahu gunanya untuk apa.

Memang, kegiatan pembelajaran MIPA beberapa daerah (bahkan beberapa negara) hanya mengajarkan asumsi-asumsi saja yang akhirnya melahirkan siswa yang tidak memiliki pemahaman dan pengertian tentang manfaat MIPA bagi kehidupannya. Siswa hanya menghapal rumus, istilah-istilah tanpa tahu guna dan aplikasinya di lingkungannya. Ruang belajar pun menjadi sempit karena hanya pada ruang kelas. Siswa dicetak mampu mengukur laju kecepatan pesawat, bahkan mampu memprediksi kapan pesawat tersebut akan jatuh, tapi itu hanya di dalam ruang kelas, karena ketika melihat pesawat, hilang dan lupa semua rumus yang pernah dihapalkannya luar kepala.

Sehingga perlu ada sebuah pembelajaran MIPA berbasis budaya dimana siswa didorong untuk dapat memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitarnya, sebagai titik awal proses penciptaan makna.

Vygotsky (2000) dalam teori konstruktivismenya menjelaskan perlu adanya peran budaya dan masyarakat sebagai pengalaman awal proses belajar. Selanjutnya, Vygotsky juga menjelaskan penciptaan makna hanya akan terjadi melalui negosiasi makna antara siswa dengan guru dan siswa yang lain yang disebut dengan interaksi. Dengan demikian pembelajaran MIPA berdasarkan budaya memerlukan interaksi aktf dari siswa – guru dengan berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya.

Sementara itu, upaya siswa menunjukkan keberhasilannya dalam proses penciptaan makna tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara wujud media. Misalnya dengan poster, puisi, lukisan, komik strip, catatan harian, laporan ilmiah penelitian pribadi, ukiran, patung, dan lain-lain.

Penilaian selain dilakukan oleh siswa sendiri (self assessed), juga oleh siswa yang lain (peer) serta guru dengan berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan oleh guru. Misalnya penilaian berdasarkan pemahaman konsep (knowledge aquisition) MIPA, pencapaian dalam keterampilan (nurturant effect) serta penilaian artistik dari tiap karya (artistic assessement). Guru bersama dengan siswa dapat menetapkan kesepakatan dan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai ragam perwujutan hasil belajar siswa.

Semoga, belajar MIPA tidak hanya menghapal dengar guru ceramah, catat dan hapal rumus tanpa tahu buat apa rumus itu dipakai.

Kurikulum Satuan Pendidikan

Sejumlah Sekolah Masih Kesulitan Menerjemahkan Standar Isi Versi BSNP

Jakarta, Kompas – Sejumlah sekolah mulai berusaha menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan pun mulai diselenggarakan.

Namun, sejauh ini guru dan sekolah sebagai pelaksana masih meraba-raba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka juga khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar.

Hasil pantauan ke sejumlah sekolah di Jakarta, pekan lalu, menunjukkan bahwa kesulitan dan kerumitan itu terutama dirasakan oleh guru di sekolah yang tidak sempat merasakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tiba-tiba kini mereka diarahkan menjalankan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Belum diterapkan

Dengan adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan itu, nantinya setiap sekolah mempunyai kurikulum berbeda-beda. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberikan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.

Bagi guru-guru di SD Negeri Palmerah 07 Pagi, perubahan itu cukup menyulitkan mengingat selama ini mereka menggunakan Kurikulum 1994. Sebaliknya, bagi sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2006—lebih dikenal sebagai KBK, kesulitan yang mereka rasakan tidak terlalu besar.

Mochamad Nasir, guru kelas VI SD Negeri Palmerah 07 Pagi, mengakui hal itu. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada kurikulum tingkat satuan pendidikan ternyata tidak demikian.

Sumber: Kompas, Senin, 11 September 2006.25 juni 2010

MENDIDIK1,3 MILYAR MANISUA

SUARA PEMBARUAN DAILY

Ratna Megawangi

MINGGU lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing. Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatian di seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di Republik Rakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai, bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainya karena begitu banyaknya manusia.

Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana, misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segar terbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan Forbidden City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).

Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhan ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian yang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan sampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan masih banyak penduduk yang miskin.

Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kita masih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai baju hitam atau abu-abu. Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo, Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura.

Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarah Cina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantan Wakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Education and China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelah membaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepat maju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.

TELEVISI BKIN JUDES ANAK

Jakarta, Kamis

Menonton acara bermuatan pendidikan seperti Sesame Street 1-3 jam seminggu, efeknya terbukti positif bagi kecerdasan anak. Namun, menonton acara hiburan dan film kartun lebih lama, nilai akademik anak rendah. Perilaku judes pun menambah panjang daftar efek negatif TV setelah kegemukan, agresivitas, dan inatensi.

Anak-anak yang menghabiskan waktu beberapa jam saja setiap seminggunya untuk menonton program pendidikan seperti Sesame Street, Mister Rogers' Neighborhood, Reading Rainbow, Captain Kangaroo dan Mr. Wizard's World ternyata memperoleh nilai akademik lebih baik tiga tahun kemudian, dibandingkan anak-anak yang tidak menonton program pendidikan itu.

Riset tersebut juga menemukan, anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan film-film kartun terbukti memperoleh nilai akademik lebih rendah, dibanding anak-anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton program yang sama.

"Program pendidikan yang bagus memberikan keuntungan jangka panjang pada semua usia, tetapi khususnya pada anak-anak yang belum mendapat pendidikan di sekolah, kebiasaan menonton yang baik itu dibentuk sejak usia dini," ungkap Aletha C. Houston, Ph.D, dari Universitas Texas di Austin, yang memimpin riset.

Pelajaran Judes

" Di samping memberikan efek berupa nilai akademik yang buruk, ternyata televisi juga menyuburkan perilaku negatif lain pada anak-anak, yaitu suka membentak alias judes.

Menurut Journal of the American Medical Association belum lama ini, anak-anak usia empat tahun yang menerima dukungan emosional dan rangsangan kognitif dari orangtuanya tidak menunjukkan gejala berperilaku judes. Sebaliknya, anak-anak usia sama yang lebih banyak "didukung dan dirangsang" oleh televisi terbukti lebih judes.

Dengan demikian, perilaku judes ini menambah daftar efek negatif televisi terhadap anak-anak, antara lain: kegemukan, gangguan pemusatan perhatian (inatensi), dan agresivitas.

Para peneliti menyarankan supaya orangtua lebih banyak memberikan dukungan emosional dan rangsangan kognitif bagi anak, menggantikan jam-jam mereka menonton TV. Ini berarti membatasi anak menonton televisi sangat disarankan. Pilih hanya yang betul-betul baik bagi pendidikan anak. (Senior)

http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0508/11/073511.htm.25 jni 2010

Hindari Muatan Akademis pada Beban Pelajaran

JAKARTA, KOMPAS -

Usia siswa kelas I-III SD masih tergolong masa kanak-kanak. Sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika pada masa seperti itu muatan pelajaran untuk mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang formal," kata Mudjito, Direktur Pembinaan TK/SD Depdiknas, di Jakarta hari Rabu (11/1).

Terkait dengan itu, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar Depdiknas tengah merancang pengurangan beban belajar, Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.

Menurut Mudjito, upaya pengurangan beban dan pelenturan pola pembelajaran bagi kelas-kelas awal SD tersebut berangkat dari keluhan orangtua siswa bahwa ada kecenderungan putra-putri mereka jadi malas ke sekolah. Setelah diusut, ternyata putra-putri mereka cenderung merasa terbebani dengan muatan pelajaran yang berat. Apalagi bila materinya disampaikan secara kaku di depan kelas. Anak-anak akhirnya malah tidak melakoni pernbelajaran dengan asyik, tapi menganggapnya sebagai beban.

"Kalau kegagapan anak-anak itu dibiarkan dan tidak disikapi secara arif, bukan mustahil mereka nantinya putus sekolah di tengah jalan," tambah Mudjito.

la menjelaskan, awal Januari ini pihaknya telah menyampaikan usulan pengurangan beban belajar kepada Badan Standar Nasional Pendidikan. Pengajuan usulan tersebut bertepatan dengan momentum digodoknya standar isi pendidikan dan struktur kurikulum oleh BSNP.

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0509/15/humaniora/2051949.htm 25 jumi 2010-06-25

BEBAN BELAJAR TIDAK CUKUP DENGAN MENGURANGI JAM SAJA

Jakarta, Kompas

Mengurangi beban anak di sekolah tidak cukup dengan menyusutkan jumlah jam belajar. Muatan kurikulum yang terlalu padat malah bisa menambah tekanan baik kepada murid maupun guru. Demikian pendapat psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia Lucia RM Royanto, Selasa (8/11), ketika dimintai komentarnya tentang rencana pengurangan jam belajar.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kini tengah menyusun standar isi pendidikan, terdiri dari rumusan rekomendasi kurikulum baru dan beban belajar. Dalam rancangan itu antara lain diusulkan penyusutan jumlah jam pelajaran menjadi sekitar 1.000 jam dalam satu tahun dari 1.100-1.200 jam.

"Selama ini guru cenderung mengejar target kurikulum. Oleh karena itu muatan kurikulum harus dipertimbangkan," katanya. Menurut dia, yang harus dipertimbangkan antara lain jangan sampai urutan pembelajaran melompat-lompat. Misalnya, materi yang lebih susah malah disajikan terlebih dahulu.

http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0511/09/070559.htm 25 juni 2010

"Konsumsi Anak terhadap Siaran Televisi, Internet, dan Telepon Seluler harus dikurangi"

"Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi minta para orang tua untuk mengurangi kebiasaan anak menonton televisi, mengakses internet dan menggunakan telepon seluler." (Saturday, February 21, 2009)

Kami di E-Pendidikan.Com terus ditanya "Apakah ada informasi baru di bidang teknologi & pendidikan?" Ya:

Teknologi Sekarang Membuat Beberapa Ancaman Baru Terhadap "Anak-Anak Bangsa Yang Cerdas".

* Banyak sekali siswa-siswi sudah biasa membuang terlalu banyak waktu main games, misalnya Play Station dan Games Online. Waktu ini sebaiknya digunakan untuk menambah kemampuan mengulang pelajaran dari sekolah. Sebagai siswa-siswi atau orang tua yang bertanggungjawab kita perlu sangat membatasi atau memonitor waktu anak-anak kita main games atau akses Internet.

Ingat bahwa main games hanya dapat menyiapkan anak-anak kita untuk jurusan pengangguran!

* Terlalu banyak siswa-siswi juga sudah mulai menghabiskan banyak waktu di Internet di situs-situs hiburan (atau cari jodoh) seperti Facebook, Yahoo Messenger dan Friendster di mana mereka hanya menghabiskan waktu, yang sangat tidak produktif, dan perlu dibatasi. Kalau kita rajin keliling warnet setelah jam sekolah kita dapat melihat bahwa kebanyakan siswa-siswi sedang sibuk dengan chatting dan e-mail (pergaulan).

Ini juga baik untuk mereka yang hanya berharap ikut pengangguran!

* Lebih dari 90% bahan dan informasi yang bermutu, yang dapat meluaskan dan membuka pikiran dan kreativitas anak kita di Internet dalam bahasa Inggris (the international language). Internet sebagai sumber informasi saja sangat terbatas untuk anak-anak kita karena bahan dan informasi bermutu dalam bahasa Indonesia adalah sangat sedikit. Sebetulnya ada banyak isu yang jauh lebih penting. Misalnya!

:http://e-pendidikan.com/[ diakses pada 25 juni 2010 ]

KOMPUTER LAPTOP masuk sekolah

Sudah diketahui bahwa komputer (termasuk LapTop) adalah sebuah alat yang bisa membantu kita (guru dan siswa) untuk membuat pelajaran lebih menarik dan bervariasi. Budaya belajar/ mengajar dan memakai komputer di sekolah diciptakan oleh pihak yang bersangkutan, dalam hal ini kepala sekolah, guru dan siswa yaitu dengan adanya peraturan sekolah (school policy). Jadi kalau budaya sekolahnya berantakan itu karena kurangnya waktu yang disediakan untuk perencanaan.

Setiap mata pelajaran berlangsung selama 50 menit. Di kelas Bahasa Indonesia saya, biasanya saya minta siswa saya untuk membuka dan memakai LapTop mereka selama 15/ 20 menit terakhir. Tujuannya untuk revisi kata atau bentuk kalimat yang baru saja dipelajari pada 30 menit pertama. Program yang saya pakai untuk menciptakan aktivitas ini adalah TASK MAGIC. 'Languages Online' yang tersedia secara gratis di Web juga kami pakai.

Kadang-kadang, di kelas 9 - 12, LapTop juga dipakai untuk membuat catatan singkat selama guru menerangkan (dengan program OneNote yang tersedia dalam program Microsoft Office}. Program ini bisa dipakai untuk semua mata pelajaran.

Jadi, pada dasarnya pemakaian LapTop di sekolah punya dampak yang positif. Sebetulnya, para guru yang bersangkutan bisa menciptakan pengajaran yang tidak membosankan dan pemakaian LapTop di kelas merupakan salah satu cara untuk membuat sebuah pelajaran lebih menarik.

:http://teknologipendidikan.com/laptop.html [ DIAKSES PADA 25 JUNI 2010 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar