Teknologi Informasi dan Citra Pendidikan
Dua pernyataan penting yang sedikit terlihat kalut ditunjukkan Mendiknas dalam menanggapi tersebarnya video porno artis hingga ke ujung negeri. Pertama, Mendiknas tak setuju dengan pendidikan seks dan, kedua, meminta kepada semua kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk setiap saat merazia isi telepon seluler para siswa karena khawatir dengan penyebaran video porno.
Jelas sekali kedua pernyataan tersebut memperlihatkan jenis pendekatan yang reaktif seorang menteri ketimbang proaktif. Di tengah ketidakmampuan birokrasi dan para guru kita dalam mendesain dan mengajarkan dokumen tertulis kurikulum secara benar, kasus video porno jelas merupakan peringatan terhadap jajaran Kemendiknas untuk lebih inovatif dan kreatif dalam mendistribusi kebutuhan virtue terhadap setiap mata ajar yang dipelajari siswa di sekolah.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang tak mungkin dibendung, jenis kebijakan tentang pendidikan melalui TV dan film tampaknya perlu dipikirkan dengan benar. Jika kita meyakini bahwa pendidikan merupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat, kebutuhan untuk menggunakan media massa seperti TV, film, internet, dan surat kabar/majalah dalam rangka menjaga proses terjadinya transplantasi budaya secara benar adalah imperative. Selain itu, kebijakan tentang jenis tayangan yang salah akan mempercepat terjadinya proses inflitrasi budaya satu ke budaya lainnya secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan (Nandy: 2000).
Keruntuhan citra pendidikan
Jelas sekali beredarnya video porno artis merupakan tamparan hebat terhadap citra pendidikan di Tanah Air. Tak tahu di mana mereka dulu bersekolah, jika memang benar pelakunya adalah artis yang diduga ternama. Hal itu menunjukkan adanya sikap hidup hedonis dan rendahnya moralitas artis akibat pendidikan yang salah bisa jadi merupakan salah satu penyebab. Artis, melaui teknologi informasi, bukan saja menjadi faktor pendorong runtuhnya moralitas anak muda, melainkan sekaligus merupakan korban dari arus teknologi informasi yang tanpa kontrol.
Meskipun kita telah memiliki undang-undang tentang pornografi dan teknologi informasi, paradigma perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi dan peredaran film jelas harus dicermati secara saksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000) mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film, video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik.
Hasil riset menunjukkan dampak tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet juga menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala sinetron. Bahkan jika semua fakultas psikologi di Indonesia mau dengan sukarela meriset kondisi mental siswa-siswi di sekolah, pastilah akan didapati banyak sekali anak usia sekolah yang mengalami depresi dan sakit jiwa.
Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang terlalu memamerkan kekerasan dan erotisme sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah ke arah yang tidak sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000). Ketika zaman televisi masih dimonopoli TVRI, mungkin peran pendidik (guru dan orang tua) tak terlalu berat dan melelahkan. Di samping jenis tayangan memang masih terbatas, bentuk tayangan juga masih mempertimbangkan aspek budaya lokal tiap daerah di Indonesia. Tayangan Si Unyil, drama Losmen, dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari dan menjadi rujukan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.
Memanfaatkan budaya populer
Adalah naif dan tidak mungkin rasanya menolak budaya populer dan trend setter gaya hidup serbahedonis yang setiap hari secara terbuka ditayangkan dalam bentuk film, musik, video, dan komik/majalah. Yang paling mungkin dilakukan adalah menghidupkan kesadaran kritis para pendidik untuk memaksimalkan bentuk-bentuk tayangan tersebut sebagai tools dalam proses belajar-mengajar.
Keberanian untuk menggunakan berbagai macam jenis tayangan sebagai bahan ajar juga harus dikembangkan sedemikian rupa, bahkan termasuk mendiskusikan hal-hal yang tabu seperti masalah seks dan kekerasan. Harus kita yakini bahwa tayangan baik dalam bentuk film, video, musik, maupun komik atau fiksi terpilih dan pantas secara sadar harus mampu digunakan para guru dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak film semisal Pay It Forward atau Freedom Writers yang layak diputar dan didiskusikan di ruang kelas dengan anak-anak kita yang sedang beranjak dewasa (tingkat menengah).
Jika hal itu dilakukan, biasanya siswa akan terlihat berani untuk menganalisis isi film dari beragam perspektif, bahkan bisa jadi mereka memiliki pandangan-pandangan yang unik menurut pengalaman masing-masing. Diskusi film selalu merupakan cara yang efektif untuk melihat reaksi siswa dalam menyikapi sebuah peristiwa dan mengambil virtue yang secara kolektif biasanya akan lebih mudah dilakukan (Sealey: 2006).
Kebiasaan dan perilaku melarang para guru terhadap siswa untuk tak melihat film dan video sebenarnya lebih akan membuat siswa penasaran. Tetapi jika itu dilakukan secara bersama-sama dengan guru dan teman mereka, proses berpikir kritis pun akan terlatih. Yang paling baik adalah kemauan guru untuk melakukan browsing bersama siswanya dalam mencari film dan video pembelajaran melalui Youtube.com, misalnya. Jutaan film setiap hari dirilis ke dalam Youtube.com, tetapi jika hal itu diniatkan sekaligus digunakan untuk tujuan pembelajaran, bisa dipastikan anak-anak akan senang untuk berbagi perspektif. Apalagi jika guru lebih kreatif, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter bahkan bisa dijadikan sebagai medium e-learning yang dikemas untuk pola belajar tak langsung atau jarak jauh (distance learning). Hanya, pertanyaannya, berapa banyak guru yang bisa dan mau memanfaatkan teknologi informasi sebagai bahan ajar?
Gardner (2007) mengingatkan para pendidik bahwa siswa perlu dibina dan dikembangkan untuk menghadapi arus besar teknologi informasi dengan multimodal literacy skills yang sangat krusial untuk kehidupan abad 21.
Karena itu, kemampuan guru dalam penguasaan teknologi informasi juga merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindarkan dalam kebijakan pendidikan kita. Selain itu, dalam rangka mengimbangi budaya populer yang semakin menggila, sekolah perlu dilengkapi dengan perpustakaan digital yang mampu mengakses jutaan sumber belajar yang berserakan di dunia maya. Masalah baru yang muncul dan dihadapi otoritas pendidikan kita adalah mahalnya perangkat digital sekolah dan sulit dan lamanya melatih guru untuk melek teknologi informasi.
Apalagi saat ini juga berkembang sebuah pendekatan baru dalam mengajar yang diperkenalkan Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam buku Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004), yaitu transdisciplinary approach. Transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan guru yang luar biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep, sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa.
Oleh Ahmad B, Pemerhati pendidikan
Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/14/148736
/68/11/Teknologi-Informasi-dan-Citra-Pendidikan
http://beritapendidikan.com/mod.Online [ diakses pada 22 juni 2010 ]
Teknologi pendidikan Tergantung Orangnya
Jumat, 09 April 2010 11:10 WIB
PALU--MI: Pemanfaatan kemajuan teknologi yang makin berkembang tergantung si pemakainya. Kemajuan teknologi pendidikan selalu memberi sisi positif dan negatif serta bisa memberi pengaruh yang cepat.
Itu disampaikan Wapres Boediono saat dialog dengan siswa dan guru se-Palu di Madrasah Aliyah Alkhairaat, di Palu, Sulteng, Jumat (9/4), untuk menjawab pertanyaan seorang siswi terkait maraknya penggunaa jejaring sosial oleh para pelajar.
Menurut Wapres, kemajuan teknologi bisa dilakukan dan dimanfaatkan ke berbagai arah tergantung manusianya. Jadi harus ada rambu-rambu, sehingga efek negatif bisa lebih sedikit dibanding efek positif, kata Boediono.
Wapres mencontohkan, tenaga nuklir adalah salah satu contoh kemajuan yang bisa digunakan untuk positif dan negatif. Nuklir, kata Boediono, bisa untuk pembangkit listrik dengan biaya murah, sehingga bisa bermanfaat bagi umat manusia. Tapi nuklir juga bisa digunakan untuk senjata yang bisa membahayakan manusia, papar Wapres.
Demikian untuk genetika, lanjut Wapres, bisa digunakan untuk hal positif dan negatif. Negara maju pun, menurut Wapres, banyak yang tidak bisa membendung kemajuan teknologi, sehingga banyak pula yang kebobolan. China misalnya, melakukan banyak pemblokiran terhadap sejumlah situs, tapi tidak berhasil juga, ujar Boediono menambahkan.
Mendiknas M. Nuh yang hadir dalam dialog tersebut mengemukakan, teknologi ibarat supermarket yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia. 'Di situ ada daging babi, bedak, beras, atau bahan makanan. Tergantung manusianya, mau memilih mana yang diinginkan,' tutur Nuh.
Hadir dalam dialog itu antara lain Mendagri Gamawan Fauzi, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad, serta Gubernur Sulteng HB Paliudju. (Ant/OL-04)
Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/09/134861
/45/7/Teknologi-Tergantung-Orangnya
Courtesy :http://beritapendidikan.com/mod.php?mod Online[ di akses pada 22 juni 2010 ]
Internet Masuk Sekolah - Mengapa?
Apakah E-Pendidikan Adalah Mimpi?
“Maaf Pak, gedung-gedung sekolah kami ambruk”!
“Jangan kuatir Pak/Ibu Guru, sebentar lagi kami akan memasang Internet..... Di mana ya”???
Akses ke Internet? Tetapi Sekolah Kami Belum Teraliri Listrik Pak, dan Korupsi Terjadi di Semua Level Penyelenggara Pendidikan (Dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi isntitusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi lainnya), dan UN Tidak Ciptakan Proses Belajar Kreatif, dan kita perlu Setop Kurikulum Merugikan Siswa, juga 70% Lulusan SMA Tanpa Keterampilan Cari Kerja, dan Kemampuan Guru Harus Ditingkatkan, dan Ribuan Anak Cacat Usia Sekolah Belum Terlayani, dan Pendidikan Berkualitas Hanya untuk Orang Berduit, maupun 55 juta orang tidak memiliki "akses" terhadap sumber air yang aman, dan .........
"Internet Belum Dimanfaatkan Secara Positif Oleh Pelajar"
(Prof. DR. Nurtain, Februari 2010)
"PADANG MI: Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. DR. Nurtain mengatakan kini banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi internet untuk hal-hal positif namun lebih cenderung hanya untuk menghabiskan waktu dan hal yang tidak bermanfaat."
“Diam! Nggak apa-apa. Internet dulu ya”!!!!
Internet Masuk Sekolah
Internet adalah "Alat Bantu", bukan "Solusi Pendidikan" (di tingkat Sekolah). Internet (tanpa bahasa Inggris) sebagai sumber informasi yang sangat terbatas. Bahan pelajaran (dalam bahasa Indonesia) juga sangat sedikit. Kelihatannya kurikulum kita juga tidak berbasis-penelitian, jadi untuk apa Internet di sekolah? Internet di sekolah jelas bukan prioritas kan?
Pendidikan Yang Bermutu adalah:
Pendidikan Berbasis-Guru yang Mampu dan Sejahtera, di Sekolah yang Bermutu, dengan Kurikulum yang Sesuai dengan Kebutuhan Siswa-Siswi dan "Well Balanced" (seimbang, dengan banyak macam keterampilan termasuk teknologi), yang Diimplementasikan secara PAKEM (Pembelajaran Kontekstual). ("Mampu" termasuk Kreatif)
"Pelajar Kecanduan Game Online"
"SD hingga SMA" ah... Teknologi
"Di sejumlah warung internet di Kayuagung diketahui, puluhan kelompok pelajar hampir setiap hari memenuhi warnet untuk bermain game online, bahkan ada siswa yang membolos sekolah demi menyalurkan hobi di dunia maya tersebut."
"Facebook Sebabkan Mahasiswa Malas dan Bodoh"
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengguna Facebook yang masih sekolah berhati-hatilah! Menurut studi yang dilakukan oleh Ohio State University, semakin sering Anda menggunakan Facebook, semakin sedikit waktu Anda belajar dan semakin buruklah nilai-nilai mata pelajaran Anda.
Bagaimana Dengan Internet (Tahun 2010): "Internet Belum Dimanfaatkan Secara Positif Oleh Pelajar"
"PADANG--MI: Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. DR. Nurtain mengatakan kini banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi internet untuk hal-hal positif namun lebih cenderung hanya untuk menghabiskan waktu dan hal yang tidak bermanfaat."
Kami sudah memasang informasi mengenai masalah-masalah seperti in bulan yang lalu. Mohon semua Siswa-Siswi, Mahasiswa-Mahasiswi dan Pendidik membaca:
"Teknologi Sekarang Membuat Beberapa Ancaman Baru Terhadap
Anak-Anak Bangsa Yang Cerdas"
Pada umumnya Internet (di luar negeri) digunakan di tingkat sekolah sebagai alat penelitian, bukan sumber pembelajaran. Walapun begitu "Be careful. Teachers interested in integrating the benefits of the Internet into their curriculum should proceed cautiously and methodically. Avoid getting caught up in all of the Internet hype (retorika) and trying to do everything at once. Set small goals and take steps to reach those goals." (Ref: Some Thoughts on the Use of the Internet in Schools)
Apakah kurikulum kita cocok dengan "research approach to learning" (pelajaran berbasis-penelitian), atau masih berbasis-"Asal-Hafal-Saja" ? UN? Mengunakan Internet di kelas perlu kemampuan manajemen dari guru yang sangat tegas (dan siap membagi waktu di luar kelas untuk menyiapkan tugas siswa dan bahan-bahan) supaya siswa-siswi tidak akan membuang jam pelajaran yang sangat terbatas. Soalnya, belum tentu bahan dari sumber lain akan bermutu atau cocok dengan kebutuhan siswa-siswi kita.
Courtesy :http://teknologipendidikan.com/ims.html Online [ diakses dari internet pada 22 juni 201
SAINS DAN TELEVISI
Televisi adalah medium yang sangat bagus untuk membagi informasi dan prinsip-prinsip sains kepada masyarakat secara luas. Dengan program-program yang mendidik sambil menghibur kita dapat meningkatkan daya tarik masyarakat untuk belajar ilmu sains, dan menggunakan pengembangan-pengembangan sains baru di dalam kegiatan sehari-hari. Televisi bukan teknologi baru, tetapi, potensi televisi untuk membawa ilmu sains ke semua masyarakat di mana mereka duduk, belum begitu tercapai.
Why is it so? - Mengapa begini?
Professor Julius Sumner Miller, EduTainer Luar Biasa (di atas) yang selama 20 tahun lebih sangat berhasil mengajak beberapa generasi anak tertarik dengan ilmu sains. Orangnya (orang Amerika), dan teknologinya sangat sederhana tetapi pertanyaan beliau "Why Is It So?" membuat semua anak-anak "spellbound" di televisi Australia.
Mengapa beliau dapat berhasil, padahal banyak program pendidikan dapat gagal?
- Karena sifat dan semangatnya Professor Julius Sumner Miller terhadap ilmu sains adalah luar biasa.
- Karena beliau menyampaikan ilmunya dengan gaya yang sangat menghibur.
- Karena beliau menggunakan metode "challenge" (memberi tantangan) kepada penonton dan mengajak penonton berpikir mengenai hal-hal yang aneh, tetapi nyata. Beliau mengajak penonton mencari solusinya, seperti sistem pengajaran PAKEM (Contextual Learning).
Ayo, kita mempunyai banyak pendidik/talen yang sudah pandai mengajar sambil menghibur, mari kita mengajak seluruh masyarakat aktif berfikir hal-hal ilmu sains!
Di website ini kami menyediakan venue untuk pendidik-pendidik di lapangan supaya mereka dapat membahas hal-hal terkait dengan Televisi dan Sains, memasang sumber-sumber bahan pendidikan pribadi atau link-link ke situs mereka, dan video-clip yang pendek mengenai praktek pengajaran untuk membantu guru-guru lain di lapangan.
Kami berharap partisipasi dari pendidik-pendidik dari semua negara untuk memajang idea-idea dan hasil praktek-praktek baru di sini. Salah satu kesempatan untuk membuka diskusi adalah forum kami:
Courtesy :http://sains.tv/. Online [diakses dari internet pada 22 juni 2010]
"Konsumsi Anak terhadap Siaran Televisi, Internet, dan Telepon Seluler harus dikurangi"
"Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi minta para orang tua untuk mengurangi kebiasaan anak menonton televisi, mengakses internet dan menggunakan telepon seluler." (Saturday, February 21, 2009)
Kami di E-Pendidikan.Com terus ditanya "Apakah ada informasi baru di bidang teknologi & pendidikan?" Ya:
Teknologi Sekarang Membuat Beberapa Ancaman Baru Terhadap "Anak-Anak Bangsa Yang Cerdas", diantaranya:
ü Banyak sekali siswa-siswi sudah biasa membuang terlalu banyak waktu main games, misalnya Play Station dan Games Online. Waktu ini sebaiknya digunakan untuk menambah kemampuan mengulang pelajaran dari sekolah. Sebagai siswa-siswi atau orang tua yang bertanggungjawab kita perlu sangat membatasi atau memonitor waktu anak-anak kita main games atau akses Internet.
Ingat bahwa main games hanya dapat menyiapkan anak-anak kita untuk jurusan pengangguran!
ü Terlalu banyak siswa-siswi juga sudah mulai menghabiskan banyak waktu di Internet di situs-situs hiburan (atau cari jodoh) seperti Facebook, Yahoo Messenger dan Friendster di mana mereka hanya menghabiskan waktu, yang sangat tidak produktif, dan perlu dibatasi. Kalau kita rajin keliling warnet setelah jam sekolah kita dapat melihat bahwa kebanyakan siswa-siswi sedang sibuk dengan chatting dan e-mail (pergaulan).
Ini juga baik untuk mereka yang hanya berharap ikut pengangguran!
ü Lebih dari 90% bahan dan informasi yang bermutu, yang dapat meluaskan dan membuka pikiran dan kreativitas anak kita di Internet dalam bahasa Inggris (the international language). Internet sebagai sumber informasi saja sangat terbatas untuk anak-anak kita karena bahan dan informasi bermutu dalam bahasa Indonesia adalah sangat sedikit. Sebetulnya ada banyak isu yang jauh lebih penting. Misalnya!
Lebih baik mereka menggunakan waktunya untuk belajar bahasa Inggris supaya mereka dapat berpartisipasi di dunia global, kan? Maupun membuka pintu kerja di seluruh dunia.
Informasi dan bahan pembelajaran yang paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa-siswi mereka akan menerima di sekolah oleh guru. Kadang-kadang gurunya akan menambah kegiatan seperti penelitian di mana siswa-siswi diberi tugas mencari informasi dari Internet. Ini kegiatan yang baik dan adalah fokus. Kegiatan begini sebaiknya dilaksanakan di luar jam sekolah supaya tidak makan waktu di sekolah yang masih sangat kurang.
Teknologi pendidikan yang sampai sekarang ini masih sangat dapat membantu guru dan siswa-siswi di lapangan adalah apa?
Ø Biasanya teknologi yang paling efektif adalah yang paling sederhana, yang mengajak siswa-siswi aktif dalam proses pembelajaran.
Ø Misalnya Semua siswa-siswi perlu belajar keterampilan komputer dan TIK karena keterampilan komputer dan TIK sering sekali adalah kebutuhan utama di lapangan kerja. Tetapi teknologi cangih sebagai media untuk menyampaikan pendidikan kita tidak perlu!
Courtesy :http://e-pendidikan.com/ Online [diakses pada 22 juni 2010]
PERPUSTAKAAN ONLINE
Seperti kami sudah menyebut di atas: 'Perpustakaan Online tidak sebagai pilihan yang rialistik untuk mayoritas siswa-siswi tingkat sekolah (atau masyarakat) di Indonesia karena mereka tidak punya komputer (Satu Komputer Untuk 2.000 Siswa - Tahun 2009) atau akses ke Internet di rumah. Waktu untuk menggunakan komputer di sekolah adalah sangat terbatas, dan untuk "print" (cetak) dokumen-dokomen atau ebook dari Internet adalah sangat mahal dibanding dengan pinjam buku dari perpustakaan "yang gratis".
Sekarang kita dapat belajar di manapun, di kota besar, di kota kecil, di desa, maupun di becak. Relatif kecil dan dapat masuk tas anda jadi dapat dibawa ke mana saja. Anda hanya perlu mempunyai niat belajar dan anda dapat belajar tanpa batas. Tidak perlu koneksi ke listrik dan battery dijaminkan selama hidup (katanya). Juga tidak kena ongkos layanan (Internet atau Hanfon). Tidak memakan pulsa jadi kalau anda tidur dan lupa mematikan alat revolusi pendidikan ini tidak akan kena ongkos. Alat ini juga dapat dipakai di seluruh dunia tanpa koneksi khusus. Alat revolusi ini dapat dibeli di toko dekat anda sekarang dan dapat digunakan secara langsung... dan dapat belajar sambil pulang!
Mobile Learning Untuk Semua......
Buku Sekolah Elektronik (BSE).
"Kebijakan buku elektonik (e-book) dinilai tidak efektif" (Forum Guru FGII)
Perpustakaan Online adalah lebih cocok untuk mahasiswa-mahasiswi supaya mereka dapat mencari dan pesan buku di perpustakaan kampus mereka (yang koleksi buku besar). Perpustakaan Online juga bagus untuk mahasiswa-mahasiswi yang melaksanakan penelitian dan mencari sumber dan "reference" secara luas di kampus-kampus lain, di perpustakaan tingkat nasional, atau di perpustakaan di luar negeri.
Beberapa bulan yang lalu kami membaca salah satu 'contoh aktivitas menulis' untuk ujian bahasa Inggris yang sebagai standar bahasa Inggris internasional: "Discuss the benefits and weaknesses of your local library" (Membahas keuntungan dan kekurangan perpustakaan lokal anda). Ujian ini disebut adalah 'bebas dari "bias" (pengaruh) kebudayaan'. Tetapi waktu kami mencoba bertanya beberapa orang Indonesia "Di mana perpustakaan lokal anda?" tidak ada satupun yang dapat menjawab. Perpustakaan Lokal (Lingkunan) atau "Community Libraries" kelihatannya tidak ada, atau kalau ada masyarakat secara umum tidak menggunakan perpustakaan-perpustakaan itu sampai tidak tahu di mana perpustakaannya.
Mengapa pertanyaan begini dapat muncul di ujian internasional?
Secara internasional perpustakaan lingkungan sebagai kebiasaan, termasuk di negara yang sedang berkembang. Kalau begitu, mengapa masyarakat tidak biasa menggunakan perpustakaan lingkungan di Indonesia. Mengapa perpustakaan lingkungan yang biasannya sebagai pusat untuk informasi lingkungan dan sumber pinjam buku-buku gratis tidak sebagai hal penting di Indonesia? Di mana masyarakat dapat pinjam buku-buku gratis, bagaimana mereka dapat terus meningkatkan pengetahuan dan pendidikannya?
Seperti perpustakaan sekolah, dan di luar negeri begitu, perpustakaan lokal dapat sebagai sumber akses ke Internet untuk masyarakat yang murah yang menyediakan bantuan karyawan yang sudah akli mencari informasi, di banding dengan warnet biasa di mana staf biasannya tidak berpendidikan tinggi atau memiliki keaklian mencari informasi.
Ide! Kalau semua anak (bersama orang tuanya) membeli sata buku saja mengenai sesuatu yang menarik, misalnya sains, elektronik, kimia, komputer, fotografi, Internet, kewirausahaan, pembangunan, olahraga, penerbangan, kejuruan apa saja, dan lain-lain, buku-buku ini dapat dikumpulkan di salah satu tempat (kalau tidak di sekolah) dan buku-buku ini dapat dipinjam gratis oleh semua siswa-siswi. Majalah, komik, surat kabar, dll juga dapat disimpan terus akhirnya kita dapat mempunyai koleksi sumber informasi yang sangat bermanfaat, namanya perpustakaan! Kita harus kreatif!
Courtesy :http://pendidikan.net/perpustakaan.html Online [ diakses pada 22 juni 2010 ]
"Guru Ga Boleh 'Gaptek' alias gagap teknologi" Begini, apakah anda merasa guru yang mampu mengajar Ilmu Sains Roket dengan whiteboard marker (sebagai peraga, bukan pena) adalah gaptek? Sebenarnya whiteboard marker dapat digunakan sebagai proyek kelas sampai benar-benar sebagai roket yang terbang. Dalam model pembelajaran seperti ini (sebagai contoh) pelajarnya harus sangat kreatif, kreativitas yang dapat meningkatkan PDnya selama hidup. Dibanding membaca atau nonton di layar komputer. Kalau guru sudah dapat melakukan pembelajaran secara ini, yang sangat bermutu, beliau tidak dapat disebut "gaptek" dan untuk belajar cara memakai komputer adalah gampang sekali. Sebenarnya kalau beliau sudah biasa menggunakan kreativitas begini, beliau dapat melihat kebanyakan kekurangan dari teknologi canggih, misalnya pembelajaran pasif, suap-suapan informasi - yang tidak perlu imaginasi atau kreativitas, dll - Asal-Hafal-Saja. Courtesy : http://teknologipendidikan.com/kebijakan-ict.html Online [ diakses pada 22 juni 2010 ] Sekarang Satu Komputer Untuk 2.000 Siswa (Minggu, 16 Agustus 2009) Tetapi target Depdiknas adalah 1 Komputer untuk 20 Siswa Pada Tahun 2015 Kalau pada tahun 2015 ada 1 computer untuk 20 siswa, komputer itu harus digunakan untuk belajar TIK, yang kewajiban semua anak sekolah. Berarti paling 1 - 2 jam seminggu per siswa "kalau targetnya dicapaikan", kan? Bagaimana mungkin pada tahun 2015 saja mereka dapat menggunakan komputer juga untuk e-Learning? Belum ada kabar mengenai "30 Ribu Desa Belum Teraliri Listrik" itu, apakah Depdiknas akan menyediakan genset? Kalau sangat optimistik dan ingin membuat bahan e-Learning untuk tahun 2015 +++ di mana mungkin akan ada cukup komputer supaya siswa dapat menggunakan e-Learning - kurikulumnya apa? ~ Artikel Dari Kompas ~ "JAKARTA, KOMPAS.com — Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2015 menargetkan satu komputer untuk 20 siswa di tiap-tiap sekolah di seluruh Indonesia. Hal ini diakui Setditjen PMTK Depdiknas, Giri Suryatmana, sebagai salah satu usaha Diknas untuk meningkatkan mutu pengajaran di tiap-tiap sekolah lewat internet. Sekarang kan satu komputer untuk 2.000 siswa, nah ke depan kita mau kejar 1 komputer 20 siswa. Targetnya pada tahun 2015 dan biayanya dari APBN, katanya seusai jumpa pers pemberian penghargaan Intel Education Award 2009 terhadap 6 orang guru di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Minggu (16/8). Menurutnya, metode belajar lewat jaringan internet saat ini amatlah penting karena akses informasi yang sedemikian cepatnya dapat diperoleh saat ini dapat diperoleh dari internet. Misal di Maluku Selatan, kalau kita bangun bangunan sekolah itu akan percuma, karena enam sampai tujuh bulan ke depan sekolah itu akan kosong karena para murid akan ikut orangtuanya berlayar. Karenanya, Bupati sana mencanangkan program guru dengan laptop untuk melakukan proses belajar mengajar, katanya. Untuk lebih memudahkan para guru dan siswa, pihak Diknas, menurutnya, telah memasang jaringan pendidikan nasional (Jardiknas) yang berfungsi untuk mendukung jaringan internet di seluruh sekolah di Indonesia. Dari Jardiknas tersebut para guru dan siswa dapat mengunduh berbagai macam buku dan informasi belajar mengajar. Tapi memang sampai sekarang masih ada kendala di operasinya. Tapi itu sudah bisa diakses di seluruh Indonesia, dan semua bisa diunduh dari sana, misal buku teks, pelatihan-pelatihan guru, apa saja bisa diunduh di sana, ujarnya. " Sumber:Kompas.Com :http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/08/16/16023286/1.Komputer.untuk.20.Siswa http://teknologipendidikan.com/solusi. Online [ diakses pada 22 juni 2010 ]
|
|
Teknologi yang dapat Menstimulasikan "Discovery Learning" dan Membangunkan
"Proses Analitikal" dan "Problem Solving"
Biasanya Teknologi yang dapat menstimulasikan "discovery learning" dan membangunkan proses analitikal dan problem solving, "berbasis-kreativitas pelajarnya" adalah teknologi yang sesederhana mungkin untuk mencapaikan tujuan pembelajarannya. Makin sederhana makin banyak mereka terpaksa menggunakan kreativitas mereka sendiri, maupun berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Misalnya contoh kemarin di mana saya menggunakan botol-botol plastik dengan tiga lobang untuk mengajar teggangan, hambatan dan arus. Listrik memang sulit dilihat, dan daripada menggunakan animasi / film (passive learning) lebih baik menggunakan air di mana mereka dapat melihat hubungannya (RVI) secara alam dan rasain sendiri.(Pelajarnya Semua Dewasa - Dari Industri)
Maupun "Pembelajaran Berbasis-Kontekstual adalah cara belajar yang paling terkait dengan "dunia nyata" - bukan dunia guru atau dunia virtual! Melihat contoh-contoh di sini:
http://pendidikan.net/pakem.html
Pembelajaran kontekstual tidak hanya untuk anak-anak tetapi dapat dilaksanakan di semua tingkat pendidikan. Di dalam kelas dan di luar kelas oleh task atau project-based learning.
Saya sangat pro-teknologi tetapi saya juga ingin Indonesia menjadi "Smart Country" di mana kita akan sangat kreatif dan kalau suatu hari kita dapat melepaskan diri dari kebudayaan korupsi dan fokus kepada isu-isu yang betul penting terhadap perkembangan dan globalisasi - "kita akan siap".
Misalnya (isu-isu globalisasi) petanian (semua orang di negara mana saja perlu makan), perairan yang mempunyai potensi besar, pariwisata dan banyak industri baru. Manajement sumber daya alam dan bahasa Inggris adalah dua isu yang sangat penting, maupun banyak yang lain.
Yang penting adalah kita kompak untuk membentuk generasi anak-anak oleh pendidikan (yang tidak Berbasis-Asal-Hafal-Saja), yang sebaik mungkin dan terjangkau "sekarang" untuk membangun inovasi dan kreativitas terhadap masa depan supaya kita kompetitif secara global.
Yang sering disebut "banyak pulau dan banyak suku sebagai masalah" sebenarnya ini adalah aset kita yang sangat unik dan dengan manajement yang pandai kita dapat memastikan masa depan yang baik dan sejahtera.
Kita dapat membangun kreativitas oleh pendidik yang kreatif, bukan oleh guru yang dapat menghidupkan teknologi canggih.
Kita sebagai ilmuwan harus mendukung guru-guru dengan teknologi dan kemampuan yang sesuai dengan membangun anak-anak yang kreatif, Appropriate Technology.
Tetapi di luar kelas apa saja yang dapat membantu pembelajaran mereka boleh digunakan (bukan konsern saya) kecuali kita sangat perlu meningkatkan kebiasaan baca dan kemampuan menggunakan sumber-sumber yang mana saja sesuai dengan life-long learning.
http://pendidikan.net/perpustakaan.html
Rahasia, shhh.... Di sekolah yang baik, kalau semua teknologi canggih dicabut masih tetap baik. Tetapi kalau tidak ada atap tidak dapat berjalan. (Rahasianya adalah gurunya baik).
“Kita memang Technologists tetapi kita harus tetap Humanists yang berjuang untuk pendidikan bermutu untuk semua”.
Phillip Rekdale
Education Network Indonesia:
Courtesy :http://Pendidikan.Net
http://teknologipendidikan.com/kebijakan-ict.html Online [ diakses pada 22 juni 2010 ]
Pelajar Mesti Melawan Globalisasi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com-Bupati Bantul Idham Samawi menyatakan pelajar mesti mempunyai sikap perlawanan terhadap globalisasi yang hanya menjadikan penduduk bangsa ini berperilaku konsumtif. Pelajar tak perlu terseret dalam bingkai kurang gaul atau kurang modern.
Hal itu disampaikan Idham, saat Sambung Rasa bersama para guru, pelajar, dan alumni SMAN 6 Yogyakarta, Sabtu (24/10). Sambung Rasa tersebut menjadi rangkaian acara Reuni Alumni SMAN 6 yang digagas Siswo Utomo, paguyuban alumni sekolah tersebut.
Lakukan perlawanan jika globalisasi itu hanya membuat kita menjadi konsumen yang digiring untuk terus berbelanja. Caranya sederhana, misalnya tak perlu fanatik datang ke mal dan menghabiskan uang di sana. Biar saya dicap ndeso karena tidak ke mal, ujarnya.
Idham yang juga alumnus SMAN 6 Yogyakarta angkatan 1969 ini lebih lanjut menuturkan bahwa Indonesia tak sadar sudah digiring sedemikian rupa oleh negara lain. Misalnya dalam industri ponsel, semua orang Indonesia nyaris mempunyai Nokia.
Bayangkan bahwa Finlandia, produsen merek itu hanya berpenduduk 10 juta jiwa, sedangkan Indonesia 240 juta lebih penduduk. Negara kecil itu menyetir Indonesia karena maju dalam teknologi. Artinya lagi, yang perlu dilakukan pelajar Indonesia sekarang adalah cara agar bisa cepat mengejar ketertinggalan teknologi, bukan cara agar tampil gaul dan makin konsumtif, papar Idham.
Darori, Ketua Umum Paguyuban Siswo Utomo yang juga Direktur jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, mengutarakan, banyak hal positif yang terancam hilang dari anak muda zaman sekarang, akibat terseret modernisasi.
Misalnya dari sisi olahraga dan berorganisasi yang agaknya sekarang tidak terlalu diminati. Padahal itu penting. Prestasi akademik memang penting, namun jangan terlampau mengejar sehingga aspek-aspek lain yang penting tak tergarap, papar Darori.
Soebekti Simaoen, alumnus angkatan tahun 1957 yang mantan pemimpin Bank Bapindo menuturkan, semangat belajar pelajar sekarang dilihatnya tak setinggi zamannya dulu. Entah karena apa, yang jelas banyak faktor. Dulu, kalau pamit belajar sama ortu, ya belajar. Tapi pelajar sekarang, pamit belajar, ternyata tidak selalu belajar, paparnya.
Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMAN 6 Yogyakarta Adhitya Danny Wahyudi menyatakan, pihaknya terus berupaya agar pelajar tertarik berorganisasi. Secara umum, minat pelajar berorganisasi masih bagus, tapi harus terus dipompa. Dengan beban di sisi akademis, mestinya aspek di luar belajar pelajaran bisa menjadi pilihan menarik untuk mengembangkan diri, ujar Danny.
Sumber: Kompas.Com
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/10/25/
22574044/pelajar.mesti.melawan.globalisasi
Courtesy :http://beritapendidikan.com/mod.php? Online [ diakses pada 22 juni 2010 ]
Kualitas Guru Tak Cukup Cuma Sertifikasi
BANTUL, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui sertifikasi tidak akan banyak berpengaruh bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk menilai kualitas seorang guru tidak cukup melalui sertifikasi, tetapi seharusnya melalui uji kompetensi dan kinerjanya.
Hal itu dapat dilihat dari bidang yang diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya. Demikian dikatakan oleh Fauzil Adhim, pemerhati pendidikan anak dan keluarga, di Bantul, Selasa (15/6/2010). Saya tidak setuju dengan sertifikasi. Kebijakan itu memerlukan anggaran yang mahal tetapi tidak akan membuat pendidikan kita maju. Sangat mudah bagi seorang guru untuk mengumpulkan sertifikat, tetapi apakah mereka benar-benar paham dengan materi dan diaplikasikan dalam pendidikan? Sertifikasi jelas tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kompetensi seorang guru, tegas Fauzil.
Fauzil mengatakan, saat ini kualitas pendidikan di Indonesia berada pada ranking 16 di antara negara-negara Asia Pasifik. Kita kalah dengan Malasyia, Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Papua Nugini, Selandia Baru dan lain-lain. Sekarang dosen-dosen UGM merasa bangga jika kuliah di Malasyia, padahal pada tahun 80-an, mereka sangat bangga jika dapat kuliah di Indonesia, di universitas mana pun, katanya.
Kunci keberhasilan mereka, menurut Fauzil, adalah adanya keinginan untuk berubah. Malasyia mengimpor guru-guru terbaik dari Indonesia untuk merancang pendidikan di Malasyia, dan mereka benar-benar menjalankannya. Sebaliknya, kehancuran akan terjadi jika kita sudah merasa puas, menutupi kelemahan-kelemahan, ujarnya.
Sumber: Kompas.Com
http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/15/19275548/
Kualitas.Guru.Tak.Cukup.Cuma.Sertifikasi
http://beritapendidikan.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=2248
Tidak ada komentar:
Posting Komentar