Label

TULISAN-Q (317) Album_Q (183) vidio-Q (175) kayu aro (162) gunung kerinci (26)

Jumat, 10 Agustus 2012

Teh Seduh TERBAIK Di Dunia

KOMPAS.com - Indonesia punya teh kualitas terbaik dunia. Tumbuh di kaki Gunung Kerinci di Provinsi Jambi. Teh kayuaro namanya. Teh yang ditanam di Kebun Teh Kayuaro. Luas kebunnya 3.020 hektare, berada di ketinggian 1.400-1.600 dpl. Merupakan salah satu perkebunan teh terluas di dunia dan tertinggi kedua setelah perkebunan teh Darjeling di kaki Gunung Himalaya.
Perkebunan Teh Kayuaro dibuka pada tahun 1925 oleh perusahaan Belanda, NV HVA (Namlodse Venotchhaaf Handle Veriniging Amsterdam). Sekarang, Perkebunan Teh Kayuaro dikelola  PTPN VI.
Juli lalu saya datang ke Kayuaro. Butuh 10 jam perjalanan dari Jambi ke barat untuk menuju ke Sanggaran Agung tempat dimana Danau Kerinci berada, menggunakan jasa travel. Jaraknya 500 km. Menginap sehari di Sanggaran Agung dan keesokan harinya, sore kami beranjak dari Sanggaran Agung ke Kayu Aro dengan menggunakan motor. Sanggaran Agung ke Kayu Aro berjarak sekitar 45 KM.
Kondisi jalan dari Jambi hingga Kabupaten Merangin, salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, kondisi jalannya cukup baik namun dari Kabupaten Merangin menuju Sanggaran Agung sangatlah buruk. Tak heran jika lebih banyak yang memilih jalur Padang-Kayuaro yang kondisi jalannya lebih baik. Waktu tempuh juga bisa lebih singkat. Tapi karena mengejar harga pesawat yang lebih murah dari Jakarta ke Jambi dibanding ke Padang, maka inilah yang imbalannya yang setimpal. Dibanting-banting sepanjang jalan selama 10 jam.
Memasuki daerah Kayuaro, udara dingin menyambut, juga hamparan hijau kebun teh berlatar belakang megah Gunung Kerinci. Tak heran jika Kayuaro mendapat julukan “segumpal tanah surga yang dilempar ke bumi.”
Karena keindahan alamnya, Kayuaro jadi lokasi wisata yang didukung deretan homestay sepanjang Jalan Raya Kayuaro hingga meringsek ke petak-petak kebun teh. Harga sewanya Rp 50.000 per malam per orang.
Dulunya homestay-homestay dipergunakan peneliti-peneliti World Wildlife Fund (WWF) untuk menginap Kayuaroo WWF di Kerinci dari tahun 1995 sampai tahun 2000. WWF memfasilitisasi dan mendukung pemilik homestay. WWF meneliti orang pendek bekerja sama dengan FFI (Flora Fauna Internasional).
Orang pendek ialah nama yang diberikan kepada seekor binatang (manusia?) yang sudah dilihat banyak orang selama ratusan tahun yang kerap muncul di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Walaupun tak sedikit orang yang pernah melihatnya, keberadaan orang pendek hingga sekarang masih merupakan teka-teki. Orang Pendek menggambarkan tubuh fisiknya sebagai makhluk yang berjalan tegap (berjalan dengan dua kaki) tinggi sekitar satu meter (diantara 85 cm hingga 130 cm) dan memiliki banyak bulu di seluruh badan.
Selain itu, karena keindahan Kerinci menarik banyak wisatawan asing, WWF memberi bimbingan kepada para pemilik rumah agar tempat tinggal mereka layak menerima tamu asing yang menginap. Empat diantaranya adalah rumah milik Subandi, Kliwon (Darmin), Paiman, dan Wandi. Rumah mereka yang berdiri di Jalan Raya Kayuaro sampai sekarang berfungsi juga sebagai homestay. Bedanya, tak lagi dikelola WWF, melainkan sepenuhnya ditangani keluarga.
Di Kayuaro ini sebagian warganya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu mereka. Dari obrolan saya dengan sedikit warga Kayuaro dan homestay yang tempat saya menginap, tertangkap ada yang ganjil di sini mereka bercakap dalam istilah Jawa. Dialeknya juga Jawa Misalnya pada waktu mereka menyilakan saya untuk menaruh barang-barang saya di kamar yang sudah mereka siapkan. “Monggo Mbak, silahkan istirahat dulu, sampean tak tinggal dulu ya.”
Ini tak lain karena leluhur mereka adalah orang Jawa yang didatangkan Belanda untuk jadi kuli perkebunan teh. Jadi selama bergenerasi-generasi, bahasa Jawa tetap digunakan sebagai bahasa ibu.
Di homestay juga akhirnya saya merasakan teh kayuaro. Cokelat tua dan pekat. Teh celup kayuaro menghasilkan warna yang lebih tua dibanding teh celup yang banyak di pasaran Jakarta.
Teh yang saya minum itu grade lokal, banyak beredar di Jambi dan Kerinci, bukan grade 1. Saya beli juga teh kemasan bermerek Kajoe Aro, grade lokal juga. Teh kayuaro grade 1 hanya untuk diekspor, bukan untuk pasaran Jambi.
Di manakah letak kesalahannya jika tujuan awal saya ke sini, ke Kayuaro, adalah untuk mencicipi teh kayuaro, tapi tak mendapatkan teh terbaik kayuaro. Lantas harus pergi ke bumi belahan manakah orang Kayuaro jika ingin minum teh terenak sedunia hasil buminya sendiri?
Pagi yang baru di kaki Kerinci. Selesai sarapan di homestay Paiman. Hari ini kami berencana ke Danau Gunung Tujuh, di ketinggian 1.996 mdpl, danau kaldera tertinggi di Asia Tenggara. Luasnya 960 hektare. Titik awal pendakian berada di Desa Pelompek, sekitar 15 menit menggunakan sepeda motor dari homestay.
Pukul 9.30. Pada awal pendakian, ladang masyarakat di kiri-kanan jalan. Ketika memasuki hutan dimulailah dengan trekking terjal tak henti-henti. Menanjak terus menelusuri susunan akar-akar pepohonan kokoh yang membentuk tangga alami dengan kemiringan 60 derajat hingga 80 derajat. Waktu tempuh sekitar 3 jam dari titik awal pendakian.
Setibanya di puncak gunung pun harus turun sekitar 15 menit dengan kondisi curam untuk mencapai danau tersebut. Danau Gunung Tujuh terpampang di depan mata, dikelilingi tujuh gunung, yakni Hulu Tebo, Hulu Sangir, Madura Besi, Lumut, Selasih, Jar Panggang, dan Gunung Tujuh tempat kami berdiri.
Saya hanya bisa terdiam dan bersyukur berkali-kali, tak percaya setelah perjalanan jauh dan melelahkan akhirnya dapat menginjakan kaki di danau ini. Danau yang nyaris selalu dikelilingi oleh kabut. Airnya sejuk, jernih, dan bersih. Saya rendamkan kaki yang terasa kaku, di pinggir danau. Teman saya mulai membongkar isi tasnya. Kami menikmati makan siang di atas batu besar di pinggir danau.
Sisi danau tempat kami beristirahat terdapat sebuah hulu sungai selebar kurang lebih 1 meter. Curam dan membentuk air terjun kecil namun deras. Menurut teman seperjalanan yang orang Jambi, di balik air terjun yang deras itu ada sebuah goa.
“Ko ambillah air dekat hulu itu, masukkan dalam botol yang kosong dan minum airnya,” katanya.
“Memang bisa diminum airnya?” saya setengah tidak percaya.
“Bisalah, airnya sangat segar,” jawabnya.
Saya mencobanya. Memang betul airnya segar, tak ada rasa. Dia berkelakar, “Setelah ko minum air itu, kelak suatu saat ko akan datang mengunjungi danau ini. Itu kepercayaan orang di sini. Apabila meminum air danau, maka suatu saat orang itu akan datang kembali berkunjung ke danau ini.”
Danau Gunung Tujuh dikenal masyarakat Kerinci sebagai danau mistis yang punya berbagai mitos. Cerita lain dari si teman seperjalanan, danau ini dihuni dua naga. Satu naga jantan menghuni danau dan satu naga betina menghuni hulu sungai tempat saya tadi mengambil air. Konon apabila kedua naga ini bertengkar, kelak Kerinci akan mengalami banjir hebat karena luapan air dari Danau Gunung Tujuh.
Danau Gunung Tujuh juga mengaliri beberapa sungai di Jambi, salah satu alirannya bermuara di Sungai Batanghari.
Di Danau Gunung Tujuh tinggal seorang bapak yang biasa disebut “Pak Wo”. “Wo” adalah sebutan untuk orang Kerinci. Kami lihat Pak Wo dengan sampannya dari kejauhan mengayuh ke arah tempat kami beristirahat. Tak lama pun Pak Wo menepikan sampannya di dekat kami, turun dengan membawa karung.
“Menginap di sini?” tanyanya.
“Tidak, Pak Wo, kami pulang hari,” jawab teman saya.
“Bawa apa itu, Pak Wo?” kata teman saya.
“Ikan, untuk nanti dijual di bawah,” katanya.
Pak Wo biasa turun gunung seminggu sekali atau dua kali, membawa hasil tangkapan ikan dari Danau Gunung Tujuh. Keluarga Pak Wo tinggal di kaki Gunung Tujuh.
Pak Wo hanya menaruh barang bawaannya di dekat kami, dan kembali ke sampan. Rupanya dia hendak menyimpan sampannya di tempat yang tak terlihat orang, takut-takut sampan dipakai orang tak bertanggung jawab.
Setelah menaruh sampan di tempat aman, Pak Wo kembali ke tempat kami dan mengambil karungnya. Ia bergegas turun karena nampaknya hujan akan segera mengguyur tempat itu.
Pukul 14.00 kami turun meninggalkan Danau Gunung Tujuh  yang masih asri ini. Hujan pun mengguyur tak henti-henti hingga kami tiba di homestay. (Get Lost in Indonesia/Inka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar