Label

TULISAN-Q (317) Album_Q (183) vidio-Q (175) kayu aro (162) gunung kerinci (26)

Minggu, 12 Desember 2010

SABAR

Sabar Menurut Al-Qur'an
“...Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d [13]:23-24)


Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat.”
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”
Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.”
Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Di antaranya disebutkan pada QS.Al-Kahfi [18]: 28 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21, “...sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”
Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an
Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam;
Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut
Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional)
Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)
Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman aadalah sabar. Sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting. “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Dari itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat. Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan (pakaian) sutera”. Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “...Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Sabar, Suatu Kekhasan Manusia
Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya.
Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.
Pentingnya Kesabaran
Agama tidak akan tegak, dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Sabar adalah kebutuhan duniawi keagamaan. Tidak akan tercapai kemenangan di dunia dan kebahagaiaan di akhirat kecuali dengan sabar.
Al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya kesabaran ini. Ketika mengyinggung masalah penciptaan manusia dan cobaan penderitaan yang akan dihadapinya. Dalam surat Al-Insaan [76]: 2 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang tercampur yang Kami hendak mengujinya )dengan perintah dan larangan)”.
Pentingnya Kesabaran Bagi Orang Beriman.
Sudah menjadi sunnatulah bahwa kaum muslimin harus berhadapan dengan para musuhnya yang jahat yang membuat makar dan tipu daya. Seperti Allah menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk Ibrahim; Fir’aun untuk Musa dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.
Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3 “Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ##
SUMBR http://muhammadjamhuri.blogspot.com/2007/06/sabar-menurut-al-quran.html

Hakikat Sabar: Arti Kata Shabar menurut Al Qur’an adalah Menahan diri atas segalah sesuatu yang tidak disukai karena mengharap Ridha Allah swt. Sabar itu sangat penting karena ia adalah kebutuhan primer bagi orang-orang beriman. Karena kesabaran adalah kunci kemenangan. Sebagaimana kata salah seorang ulama’; Seorang mu’min butuh kesabaran terhadap hal-hal yang tidak disukai agar dapat masuk surga, dan kesabaran dari syahwat agar dapat selamat dari neraka.Pentingnya Ujian bagi orang-orang yang beriman adalah untuk membedakan mana-mana yang jelas-jelas beriman dan mana-mana orang-orang yang munafiq serta orang yang dalam hatinya ada penyakit. Disamping itu juga sebagai pendidikan bagi orang mu’min dan untuk menambah bekal dan kedudukan disisi Allah swt.Hakikat Shabar adalah kedudukannya wajib bagi orang-orang yang beriman ( QS, 2:153, 3:200, 16:127) Allah melarang kebalikannya (tidak shabar) (QS, 8:15, 3:139) Kebaikan seseorang di dunia terkait dengan kesabaran (QS 16:126, 42:41-43)

Tempatnya Kesabaran:Sabar atas cobaan Dunia. Tidak ada seorangpun yang terbebas dari cobaan dan ujian hidup di dunia ini. Kekurangan harta, keresahan jiwa, penyakit fisik, berpisah dengan orang yang dicintai, kerugian harta benda, gangguan orang, kesengsaraan hidup dan lain-lain. Semuanya menuntut kesabaran (QS 2:155-157)Shabar dari keinginan nafsu. Yaitu Sabar ketika mendapatkan kesenangan. Imam Al Ghazali berkata: Shabar terhadap kesenangan itu lebih berat. Orang yang lapar ketika tidak ada makanan lebih dapat bersabar daripada ketika terhidang dihadapannya makanan yang lezat dan ia mampu menyiapkannya kemudian ia bisa bersabar untuk tidak berlebih-lebihan atasnya. (QS 3:14-15, 64:15, 63:9)Shabar dalam tha’at. Imam Al Ghazali berkata: Sabar terhadap ketaatan itu amat berat. Sebab tabiat jiwa manusia itu cenderung menghindar dari ubudiyah (penghambaan) dan ketaatan terhadap perintah atau aturan. Sebaliknya jiwa itu cenderung untuk memerintah dan bertindak semaunya.Sabar atas beban Da’wah. Para da’i senantiasa mengajak manusia agar membebaskan belenggu hawa nafsu, hayalan2, adat dan tradisi yang menyimpang dan mengajak taat kepada aturan Allah. Kesabaran diperlukan karena banyaknya manusia yang berpaling darinya (QS Nuh:7) dan gangguan dari manusia baik secara ucapan atau perbuatan (QS 6:34). Shabar dalam medan pertempuran. Shabar adalah faktor utama kemenangan. Pepatah: Keberanian adalah kesabaran sesaat (QS 8:45-47)Shabar dalam berhubungan sesama manusia. Antara Suami dan Istri (QS 4: 19), Orang dan Anak serta sebaliknya, dengan tetangga serta dengan masyarakat.

Kedudukan Shabar dan Orang-orang yang sabar: Sabar sangat erat kaitannya kedudukan seseorang terkait dengan Keyakinannya (QS 32:24), Syukur-nya (QS 14:5), Tawakkal-nya (QS 16:41-42), Shalat-nya (QS 2:153, 11,114-115), Tasbih dan Istighfar-nya (QS Ath Thur:48, 40:55), Amal Sholih-nya (QS 11:11), Taqwa-nya (QS 3:120, 12:90) dan Rahma-nya (QS 90:17).

SABAR VERSI IMAM AL-GHAZALI
diterbitkan oleh Kajian Islam Nugraha
TINJAUAN SABAR VERSI
IMAM AL-GHAZALI

Oleh Ridjaluddin.FN.
23 Oktober 2009

Akhlak sabar (al-akhlaq al-shabr) dibutuh kan dalam dua kondisi kehidupan. Pertama, kondisi yang sesuai dengan harapan seperti menerima nikmat, bahagia, kaya, sejahtera, suka, dan seterusnya. Kedua, kondisi yang tidak sesuai dengan harapan seperti ditimpa musibah dan penderitaan , susah, miskin, sengsara, duka nestapa dan seterusnya. Berdasarkan perbedaan ini, maka Imam al-Ghazali membedakan nama (istilah) sabar sesuai dengan peristiwanya. Namun demikian, bermacam istilah, tetap termasuk dalam kerangka sabar (al-shabr).

Imam al-Ghazali berkata: Apabila sabar melawan nafsu perut dan nafsu biologis disebut al-‘iffah. Sabar (al-shabr) menghadapi kondisi yang tidak disukai nama sabar (al-shabr) berbeda sesuai dengan kondisinya:

 Sabar terhadap musibah dan penderitaan disebut al-shabr antonimnya al-hal’u wa al-jaz’u,
 sabar dalam kondisi kaya disebut dhabth al-nafs antonimnya al-bathr,
 sabar menghadapi perang disebut al-syaja’ah antonimnya al-jabn,
 sabar mengendalikan emosi disebut al-hilm antonimnya al-tazammur,
 sabar menghadapi masa sulit disebut sa’at al-shabr antonimnya al-dhajr wa al-tabarrum wa dhayyiq al-shadr,
 sabar mengendalikan lisan disebut kitman al-sirr dan pelakunya disebut katum,
 sabar dalam kemewahan disebut al-zuhd antonimnya al-hirsh,
 sabar menghadapi sedikit keberun- tungan (qadr yasir min al-khuthuth) disebut al-qanaah antonimnya al-syarrah.
 Mayoritas etika keimanan terga- bung dalam sabar (al-Shabr).

Sebelumnya Imam al-Ghazali, pembagian sabar (al-shabr) berdasarkan peristiwanya dilakukan oleh Imam al-Makki. Tetapi pembagian Imam al-Makki sangat umum dan tidak membedakan namanya Imam al-Makki hanya menyebutkan ruang kesabaran, antara lain sabar (al-shabr) dalam menegakkan yang ma’ruf (kebenaran menurut Islam), sabar dalam mencegah kemunkaran, sabar (al-shabr) dalam ibadah, sabar berinfak (al-shabr fi al-infaq).

Pembagian Imam al-Ghazali nampaknya terinspirasi dari Imam al-Makki. Keaslian pendapat Imam al-Ghazali dalam hal ini adalah mengenalkan istilah-istilah sabar (al-shabr) penjelasan di atas. Menurut hemat penulis, pembagian sabar (al-shabr) berdasarkan istilah nya pada tataran praktis tidak penting, sebab hakikat sabar (al-shabr) menguatkan motivasi relegius dalam menghadapi setiap motivasi hawa nafsu, baik hawa nafsu bersifat emosi, biologis, maupun yang lainnya. Tetapi dalam wacana keilmuan, pembagian ini sangat penting sebab membantu seorang muslim dalam mengiden- tifikasi peristiwa kesabaran yang sedang dihadapi.

1.Al-Iffah

Secara etimologi al-iffah berarti menjauh kan diri dari perkara tidak baik/hina/syubhat. Secara terminology sebagaimana dikatakan Imam al-Mawardi berarti “menempatkan kecen- derungan terhadap sesuatu yang menyenangkan dibawah hukum (al-hukm) akal, baik kesena- ngan tersebut bersifat jasmani (jasmun) maupun bersifat rohani (ruuhun) seperti emosi (al-infi’al) dan perasaan (al-‘awathif)”

Kesenangan yang bersifat jasmani ber hubungan dengan selera perut (makan dan minum). Sedangkan kesenangan yang bersifat rohani berhubungan dengan nafsu biologis (seksual). Dua bentuk kesenangan ini merupa kan kebutuhan (needs) dasar manusia yang bila tidak terpenuhi berdampak pada jiwa dan raga. Pentingnya kesabaran dalam hal ini adalah untuk mengendalikan seorang muslim agar jalan pemuasan yang ditempuhnya sesuai dengan petunjuk agama Islam.

Makanan dan minuman dikatagorikan menjadi dua: mendesak (dharuri) dan tidak mendesak (ghair dhoruri) . Katagori mendesak adalah makanan dan minuman yang tidak dapat ditinggalkan sebab berdampak pada kesehatan, misalnya makan dan minum sehari-hari. Sedangkan katagori tidak mendesak adalah makanan tambahan yang tidak berdampak kepada kesehatan.

Imam al-Ghazali, porsi makan dan minum terbagi kepada terpuji (al-mahmudah), makruh (la-makruhah), tercela (al-mazmumah) dan dilarang (al-mahdzurah) Porsi yang terpuji adalah yang tidak kekurangan dan tidak ber lebihan, sehingga tubuh dapat berfungsi secara maksimal. Porsi yang makruh ini sekaligus menjadi tercela sebab menyebabkan tubuh menjadi malas. Adapun porsi yang haram adalah makanan dan minuman yang diharamkan, baik essensinya maupun cara memperolehnya.

Adapun cara memenuhi nafsu biologis juga terbagi kepada: terpuji, makruh dan haram. Cara terpuji adalah apabila nafsu ini disalurkan sesuai dengan petunjuk agama Islam yaitu dengan cara yang halal dan sehat. Cara makruh adalah apabila aktivitas seksual dila- kukan dengan cara terpuji, tetapi hanya berorientasi kesenangan dan kepuasan semata. Adapun cara yang haram adalah yang tidak sesuai dengan agama Islam, misalnya berzina, menggauli istri sedang menstruasi atau sodomi (menggauli sesama jenis) .

Pada bagian lain Imam al-Ghazali menga- takan, aktivitas nafsu biologis manusia terbagi kepada: berlebihan (al-ifrath ), kekurangan (al-tafrith) dan moderasi (al-I’tidal). Aktivitas yang berlebihan adalah yang tidak manusiawi dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Aktivitas yang kekurangan adalah tidak memenuhi kebu- tuhan (needs) ini secara total sehingga tidak menikah. Sedangkan aktivitas moderasi adalah pemenuhannya berdasarkan kepada akal dan agama Islam.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sabar (al-shabr) mengendali- kan nafsu perut adalah memenuhi kebutuhan (needs)nya sesuai porsinya dan tidak berlebihan, konsumsi yang halal, baik esensinya maupun cara memperolehnya. Sedangkan sabar (al-shabr) mengendalikan nafsu biologis adalah memenuhi kebutuhannya dengan cara yang halal, benar dan logis.

2. Al-Shabr

Secara umum, kata al-shabr menggambar kan kemampuan seorang muslim mengendali kan diri dalam menghadapi segala peristiwa yang dialami sesuai dengan petunjuk agama Islam. Tetapi penggunaan yang spesifik dari kata ini adalah untuk menggambarkan kemam puan seorang muslim dalam menghadapi musi- bah dan penderitaan .

Dijelaskan terdahulu bahwa musibah dan penderitaan merupakan hukum Tuhan (God) yang berlaku bagi semua manusia. Bagi orang beriman, musibah dan penderitaan dikembali kan kepada dua prinsip: prinsip dunia sebagai medan ujian sehingga setiap orang akan menerima ujian (al-Qur’an surat al-Naml (27) ayat 40) dan prinsip keimanan bahwa kekokohan iman ditempa oleh ujian (Al-Qur’an surat al-Ankabut (29) ayat 2-3). Prinsip dunia sebagai medan ujian mengandung pemahaman bahwa semua manusia yang hidup di dunia ini akan mengalaminya, dan setiap dinamika kehidupan merupakan bagian dari ujian tersebut. Sedangkan prinsip kekokohan iman ditempa oleh ujian mengindikasikan bahwa setiap orang yang beriman akan diuji, sehingga semakin kokoh keimanan semakin berat pula ujiannya. Berdasarkan dua prinsip ini maka kesabaran adalah mutlak untuk dimiliki.

Cara bersabar menghadapi musibah dan penderitaan, menurut Imam al-Ghazali adalah dengan menghindarkan perbuatan yang tidak lazim, yaitu berputus asa (al-juz’u), merobek-robek pakaian, memukul-mukul dinding, kemu- dian mengeluh menampakkan kekesalan secara berlebihan, melakukan rutinitas seperti berpa- kaian, tidur, makan, minum dan sebagainya di luar kebiasaan.

Bersabar bukan berarti tidak bersedih atau tidak menangis, sebab hal tersebut merupakan naluri dan tabiat manusia yang tidak mungkin dihilangkan secara total. Nabi pun, sebagai manusia yang paling sabar, menangis ketika putranya nabi Ibrahim meninggal. Tetapi yang dimaksud dengan sabar (al-shabr) menghadapi musibah dan penderitaan adalah mengendalikan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam dan di luar kebiasaan. Hal ini akan terbentuk apabila seorang muslim rela dan ikhlas menerima semua ketentuan Tuhan (Allah SWT) serta meyakini hikmah yang ada dibaliknya.

3. Dhabth al-nafs.

Secara etimologi Dhabth al-nafs, berarti menahan atau mengendalikan diri. Pengertian ini sebenarnya berhubungan dengan semua nama sabar. Akan tetapi apabila dilihat dari antonimnya yaitu al-bathr yang berarti menya- lahgunakan kenikmatan, tidak mensyukuri, meremehkan, menyombongi, tidak menerima keadaan dirinya, kufur nikmat, maka kata Dhabth al-nafs. Merupakan sabar dalam kondisi menerima nikmat kekayaan materi.

Adanya materi merupakan faktor kebaha -giaan sebab dengannya seorang muslim dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Materi bukan hanya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tapi sangat penting keberadaannya dalam ibadah, bahkan ibadah dapat dilaksana kan lebih sempurna. Materi menjadikan seorang mukmin lebih baik dari mukmin yang lain, dan sebabnya Islam memerintahkan untuk men- carinya sebanyak mungkin seolah-olah hidup di dunia ini abadi (ikmal lidunnyaaka kaannaka taisuu abadan wa’ mal li akhirataka kaannakaa tamuutu ghadzan, al-hadits ).

Di sisi lain materi membawa kesengsa- raan. Adanya materi membuat seorang muslim dapat merealisasikan keinginan negatifnya, dan hiburan yang mahal menjadi gampang karena keberadaannya. Materi juga dapat menyebabkan seorang muslim jauh dari agama Islam. Sebab itu, ayat dan hadits mengingatkan agar setiap muslim waspada terhadap fitnah yang ditimbul- kan dari harta.

Kewaspadaan terhadap fitnah harta ada lah dengan mengetahui kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengannya. Menurut Imam al-Ghazali kewajiban tersebut meliputi lima hal : Fungsi dan kegunaan, cara memperoleh, jumlah, pemanfaatan dan niat mencarinya.

Adapun fungsi harta penting untuk di ketahui sebab membuat seorang muslim tidak menguras tenaga dan pikiran untuk mengejar yang tidak berguna. Cara memperolehnya harus lah secara halal; bukan cara yang haram atau makruh. Jumlah yang dicari disesuaikan keperluan; tidak berlebihan atau kekurangan. Ia belanjakan di jalan Allah (fi sabilillaahi), sesuai keperluan dan tidak bersifat mubazir. Niat mencarinya semata-mata untuk dijadikan sebagai fasilitas ibadah. Pemikiran Imam al-Ghazali dalam hal harta kekayaan ini sejalan dengan agama Islam yang mengajarkan untuk mencarinya dengan cara yang halal dan memanfaatkan sebagai fasilitas untuk ber- ibadah.

4. Al-Syaja’ah.

Secara etimologi kata al- syaja’ah berarti berani antonimnya dari kata al-jabn yang berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan sebagaimana mestinya menjeru muskan seorang muslim kepada kehinaan. Ahmad Amin mendefinisikan berani sebagai: “Sikap gentle dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika dibutuhkan. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Dan orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”

Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang berorien- tasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab. Maka sabar (al-shabr) di medan perang bukan berarti berani yang keliru, tetapi berani yang berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.

Predikat pemberani bukan hanya diperun tukkan kepada pahlawan yang berjuang di medan perang. Setiap profesi dikatagorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikatagorikan berani apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksi -mal, pegawai dikatakan berani apabila mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.

Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela(al-mazmumah). Kebera- nian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat penggunaannya. Ahmad Amin berkata: “takut tercela adalah takut kepada sesuatu yang ditakuti sehingga menghalangi beramal, atau bahkan menyebabkannya tidak beramal sama sekali. Misalnya orang yang takut ditimpa kemiskinan menyebabkannya tidak berkeingi nan membantu orang yang dalam kesusahan dan penderitaan.

5.Al-Hilm

Secara etimologi kata al-hilm berarti kesabaran atau kemurahan hati, antonim dari kata al-tazammur yang berarti emosi. Kata ini digunakan untuk menggambarkan sabar (al-shabr) mengendalikan nafsu emosi.

Dalam satu sisi, nafsu emosi sangat dibutuhkan sebab nafsu ini memberi sugesti untuk berusaha membela harga diri, keluarga, harta benda, Negara dan agama. Bahkan Islam memandang tercela orang yang tidak marah ketika kehormatannya dilecehkan. Pada sisi lain, emosi merupakan akhlak tercela (al-mazmumah) yang mengakibatkan timbulnya berbagai mudharat, memicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga, menebarkan bibit perten- tangan (konflik) dalam interaksi sosial dengan berbagai latar belakangnya, baik suku bangsa, ras, agama dan lain sebagainya.

Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi emosi. Potensi ini menjadi aktif disebab kan banyak faktor, antara lain sikap angkuh, sombong, keras kepala, merasa gagah, canda, khianat, persaingan, dendam dan lain sebagai nya. Potensi emosi lahir dengan tujuan membela kehormatan, baik kehormatan diri dan keluarga, harta benda, dan yang paling mulia kehormatan agama.

Imam Al-Ghazali menjelaskan, “potensi emosi merupakan gejolak darah yang ada di hati untuk menuntut balas (dendam). Gerak potensi ini adalah menolak gangguan yang belum terjadi dan dendam yang telah terjadi. Dendam merupakan penyulutnya, ia tidak damai tanpa adanya dendam.” Artinya, potensi emosi memiliki dua tujuan; membela diri sebelum datang gangguan dan menuntut balas setelah diganggu. Potensi emosi ini semakin berkobar sebab didorong oleh perasaan dendam.

Dampak negative dari emosi menyebab kan hilangnya kesadaran dan berpengaruh pada kesehatan. Ibn Maskawaih menjelaskan, apabila dendam mengobarkan api amarah, darah yang ada dalam hati mendidih semakin dahsyat, seluruh urat syaraf dan otak diselimuti kege lapan sehingga tidak berfungsi maksimal. Akibatnya, orang yang emosi tidak menerima anjuran dan nasehat, bahkan kadang kala menyebabkannya semakin emosi. Panas yang membara dalam hati ketika sedang emosi menyebakan stress dan kematian, atau minimal menimbulkan suatu penyakit yang mengarah kan kepada kematian.

Manusia memiliki potensi emosi berbeda, dan arena itu sikap setiap orang ketika ditimpa musibah dan penderitaan berbeda. Imam al-Ghazali mengklasifikasikan potensi emosi manu-sia kepada: kekurangan (al-thafrith) yaitu lemah atau tidak ada sama sekali, berlebihan (al-ifrath) yaitu kemudian kuat dan keluar dari norma akal dan agama sehingga kemudian dalam ken- dali emosi, dan moderasi (al-‘I’tidal) yaitu emosi yang berdasarkan akal dan agama Islam. Kelompok ketiga inilah yang terbaik sesuai sabda nabi Muhammad Saw : “sebaik-baik perkara adalah moderasi”.

Pada bagian lain Imam al-Ghazali meng katagorikan emosi menjadi: terpuji, makruh dan tercela. Emosi terpuji pada dua kondisi: emosi seorang suami yang cemburu kepada istrinya, dan emosi sebab melihat kemungkaran (al-munkarat) dan kekejian (al-fawahisy) sebagai wujud kepedulian terhadap agama Islam. Sedangkan emosi yang makruh misalnya emosi seorang majikan kepada pembantunya yang lalai. Adapun emosi tercela misalnya caci maki yang dilakukan sebab kesombongan.

Dengan demikian, sabar melawan nafsu emosi tidak berarti menahan dan terlebih meniadakannya secara total, tetapi menguatkan dan melemahkannya sesuai dengan akal dan agama Islam. Emosi dalam kondisi yang wajib adalah sebuah keharusan, dalam kondisi makruh dibolehkan dengan orientasi pendidikan. Maka yang dimaksud dengan sabar (al-shabr) mengendalikan emosi adalah emosi yang tercela.

6. Sa’at al-Shadr

Kata Sa’at al-Shadr (lapang dada) merupakan lawan dari kata al-dhajr (gelisah), al-tabarrum `(cemas, jemu, bosan), dhayyiq al-sh`adr (sempit dada). Kata Sa’at al-Shadr diguna kan untuk menggambarkan kesabaran seorang muslim ketika mengalami kegelisahan sebab menunggu hasil perjuangan.

Manusia diciptakan dengan karakteristik yang tergesa-gesa, tidak suka menunggu, dan kemudian menginginkan hasil maksimal dari per- juangannya. Sifat-sifat ini berseberangan dengan realitas sebagaimana disebutkan di atas. Sebab itu, agar seorang muslim dapat mengen- dalikan dirinya dari berbuat yang tidak baik (negative) pada saat menunggu hasil perjuangan tersebut, maka dibutuhkan sikap sabar (al-shabr).

7. Kitman al-Sirr

Kata Kitman al-Sirr secara etimologi berarti menyimpan atau menyembunyikan rahasia. Kata ini digunakan untuk menggambar kan kemampuan seorang muslim dalam me- nyimpan rahasia, dan pelakunya disebut Katum al-sirr.

Sabar menyimpan rahasia maksudnya adalah kemampuan menjaga lidah agar tidak membicarakan rahasia (aib), baik rahasia sendiri maupun rahasia orang lain. Kemampuan menyimpan rahasia sangat besar pengaruhnya bagi kebahagiaan hidup dan kesuksesan perjuangan. Pejuang yang tidak mampu menyim pan rahasia tidak akan berhasil sebab kelema- hannya atau strategi perjuangannya menjadi diketahui.

Imam al-Mawardi menjelaskan, membicarakan rahasia orang lain lebih tercela dari membicarakan rahasia sendiri. Sebab, bila yang dikatakan benar berarti khianat, dan bila mengada-adakan berarti fitnah atau mengadu domba. Menjaga amanah kerahasiaan lebih berat dari menjaga amanah harta. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Mawardi selanjutnya, apabila terpaksa membicarakan rahasia sebab meminta pendapat misalnya, hendaklah hanya kepada orang yang amanah.

Walaupun demikian, seorang muslim dibolehkan untuk membicara kan rahasia pada saat diperlukan, yaitu dalam rangka menegak kan yang diperintahkan agama (ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Membuka rahasia dalam kondisi seperti ini bahkan merupakan kewajiban. Adapun di luar konteks ini, apabila membuka rahasia mengakibatkan timbulnya bahaya maka hukumnya haram. Dan bila tidak menimbulkan bahaya termasuk perbuatan yang tercela.

8.Al-Zuhd

Secara etimologi kata al-zuhd berarti meninggalkan atau menjauhkan diri, antonim nya al-hirsh yang berarti ketamakan dan kebakhilan. Kata ini digunakan untuk menggam barkan kesabaran seorang muslim pada saat mengalami kemewahan.

Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah Islam, praktek hidup zuhud mulai dilakukan pada akhir abad Pertama Hijriyah. Mereka yang tidak ingin larut dalam hidup mewah yang dipraktekkan para khalifah Bani Umayyah dan khalifah Bani Abbasiyah, memilih mengasingkan diri dari komunitas sekitarnya. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Hasan al-Bashir (yang wafat pada tahun 110.H/729.M), Sufyan al-Tsauri (yang wafat pada tahun 161.H/778.M), Ibrahim bin Adham (yang wafat pada tahun 162.H/782.M), Rabiah al-Adawiyah (yang wafat pada tahun 185.H/801).

Bermacam-macam pendapat menerangkan makna zuhud. Hasan al-Bashri mengatakan :

“jauhilah dunia ini sebab ia sebenarnya serupa dengan ular licin pada perasaan tangan tetapi racunnya membunuh”.

Ibrahim ibn Adham zuhud berkata: “tinggalkan dunia ini. Cinta pada dunia mem- buat orang tuli dan buta, dan menjadi budak”.

Sedangkan menurut Imam al-Ghazali zuhud adalah:”menahan diri dari dunia secara sukarela dengan ketaatan padahal engkau mampu meraihnya”

Tiga makna zuhud yang penulis terangkan di atas, meski redaksinya berbeda, tetapi maksudnya sama yaitu pentingnya bagi orang yang mampu untuk menghindari praktek dunia bermewah-mewah. Hal ini disebabkan kemewahan dapat melalaikan seorang muslim dari beribadah kepada Tuhan (Allah SWT) .

Definisi yang dikemukakan Imam al-Ghazali di atas menunjukkan bahwa ajaran zuhud berhubungan dengan cara pemanfaatan kekayaan yang dimiliki. Definisi tersebut meluruskan kekeliruan sebagian orang yang memandang bahwa praktek hidup zuhud dalam tradisi sufisme mengajarkan seorang muslim untuk tidak berusaha secara maksimal. Perintah Islam kepada umatnya agar mereka berusaha mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, dan pandangannya bahwa muslim yang kaya lebih baik dari muslim yang miskin, menegaskan bahwa kekayaan dalam Islam bukanlah hal yang mesti dihindari.

Jelasnya, konsep zuhud yang dipraktek kan oleh kaum sufi adalah dengan membelanja kan kekayaan tersebut. Perhiasan dan kemewa han dunia merupakan kesenangan yang semu. Bila mana orang kaya mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati kesenangan dan kemewahan tersebut maka tidak akan pernah ada habisnya. Pada akhirnya, kesenangan dan kemewahan dapat membuat seorang muslim lengah dari melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan (Allah SWT). Kesenangan dan kebahagiaan sejati berada pada kehidupan akhirat dan akan diraih dengan ketaatan melaksanakan kewaji- ban tersebut Adapun apa yang ada dalam dunia ini, kata Imam al-Ghazali cukup diambil sekedarnya saja sesuai kebutuhan dasar yang diperlukan. Sedangkan kelebihan harta yang dimiliki, mestinya disedekahkan semata-mata sebab ingin berakhlak sesuai sifat-sifat Tuhan (Allah SWT) .

Selanjutnya Imam al-Ghazali membagi zuhud terbagi kepada tiga tingkat:

 Pertama, al-mutazahhud yaitu tingkat orang zuhud tetapi nafsu nya masih cenderung kepada dunia.
 Kedua, zuhud yaitu tingkat orang zuhud yang tidak cenderung kepada dunia sebab menurutnya, dunia tidak mungkin digabungkan dengan akhirat.
 Ketiga, al-zuhd fi al-zuhd yaitu tingkat orang zuhud yang tidak cenderung kepada dunia tetapi tidak pula menghindarinya.

Bagi Imam al-Ghazali, ada dan ketiadaan adalah sama, dan inilah tingkatan zuhud yang paling sempurna. Berbagai motivasi yang mendorong seorang muslim untuk ber sikap zuhud, yaitu sebab takut siksa neraka merupakan zuhud orang yang takut, sebab mengharapkan nikmat akhirat merupakan zuhud orang yang mengharap, sebab ingin menghilangkan kecenderungan kepada selain Allah, menyucikan diri dan merendahkan segala yang ada selain-Nya. Zuhud terakhir inilah zuhud sejati kezuhudan kaum ‘arif. Ditinjau dari objeknya zuhud terbagi kepada:

 Pertama : Zuhud terhadap segala sesuatu selain Allah, baik yang ada di dunia maupun di akhirat dan inilah zuhud sempurna.
 Kedua, zuhud terhadap dunia saja dan tidak terhadap akhirat.
 Ketiga, zuhud terhadap harta tidak kepada kedudukan atau zuhud terhadap sebagian kesenangan tidak terhadap kesenangan yang lain. Zuhud ketiga ini merupakan zuhud yang terendah.

Berdasarkan penjelasan terdahulu, dapat dikatakan bahwa sabar dalam menghadapi kemewahan adalah mengambil seperlunya sesuai keperluan dan tidak berlebih-lebihan. Zuhud bukan berarti meninggalkan kesenangan dunia sama sekali. Sebab, sebagaimana dikata kan Imam al-Ghazali, harta merupakan salah satu syarat agar dapat menjalankan ketaatan secara maksimal.

9. Al-Qana’ah.

Dari segi etimologi kata al-qana’ah berarti rela atau puas dengan bagian yang diterima. Antonimnya adalah kata al-syarrah yang berarti tamak, rakus, lahap. Maksudnya, kata al-Qusyairi, adalah “rela terhadap rezeki yang diterima, tidak melihat kepada yang belum ada, dan merasa cukup dengan yang dimiliki”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sabar menghadapi sedikitnya keberuntungan yang ditakdirkan kepadanya.

Sikap al-Qana’ah yang diajarkan Islam seringkali dipahami secara keliru. Seakan-akan maksudnya adalah menerima apa adanya tanpa melihat usaha mencarinya. Al-Qanaah pada dasarnya merupakan sikap menerima berapapun hasil usaha yang dilakukan. Artinya, ada usaha yang harus dilakukan terlebih dulu untuk mendapatkan hasil tersebut, bukan menerima apa adanya tanpa perlu berusaha secara maksimal.

Kesejahteraan materil merupakan salah satu faktor kebahagiaan hidup duniawi. Materi juga sangat diperlukan, bahkan menjadikan ibadah dapat dilaksanakan secara sempurna. Sebab itu, orang beriman diperintahkan untuk berencana dan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kesejahteraan tersebut. Akan tetapi fakta menunjukkan, tidak semua berhasil, bahkan banyak orang yang gagal mencari kesejahteraan tersebut.

Pentingnya memiliki sikap al-qanaah sebab membuat seorang muslim memahami dan menerima realitas yang dihadapi dengan lapang dada dan tidak menyimpang dari petunjuk agama. Kesuksesan tidak menyebab kan sombong dan kegagalan tidak menyebabkan putus asa (walaa taiasuu min ruhillaah). Hidupnya akan jauh dari sifat iri dan dengki terhadap segala yang dimiliki orang lain. Sikap al-qana’ah membentuk jiwa seorang muslim menjadi ikhlas dengan ketentuan Tuhan (Allah SWT) dan mensyukuri segala nikmat yang diberikan-Nya.

Sedangkan orang yang tidak al-qanaah maka akan menjadi budak materi dan kebebasannya akan terpasung. Ketamakan dan keserakahan dalam mengejar harta seringkali membuat seorang muslim menempuh cara-cara yang menyimpang dari ajaran agama Islam seperti menipu, menjilat, korupsi, kolusi, meram pok dan lain sebagainya. Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya:

Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau akan menjadi orang yang paling berbakti (ibadah). Jadilah orang yang qana’ah niscaya engkau akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri niscaya engkau akan menjadi muslim. Sedikit ketawa sebab banyak ketawa akan mematikan hati. (Hadits riwayat Ibn Majah)

Muhammad al-Ghazali menjelaskan, menanamkan sikap al-qanaah bukan berarti menutup pintu usaha-usaha, atau membatasi pelakunya untuk mencapai kesejahteraan materi yang lebih baik. Sikap ini dibutuhkan agar seorang muslim tidak berusaha dengan gila-gila an dan serakah, yang akhirnya menghilangkan sikap bijaksana dan adil. Manusia seringkali membantah dengan berbagai alasan untuk mem benarkan kehendak nafsu, menuruti keinginan-keinginan, kemudian merasa kurang dan ber sikap sombong.

Keterangan Muhammad al-Ghazali di atas menolak asumsi sebagian orang bahwa sikap al-qanaah yang diajarkan Islam, yang dipraktek kan oleh mayoritas kaum sufi, sebagai ajaran yang mengarahkan umatnya kepada hidup miskin, menerima apa adanya, gampang me- nyerah menghadapi tantangan dan persaingan. Lebih jauh, mereka mengganggap seorang muslim tidak berusaha maksimal mencari kesejahteraan duniawi adalah wajar dan merupakan wujud ketaatan terhadap agama Islam.

Al-qanaah adalah kemampuan seorang muslim mengendalikan diri untuk tidak men- cari harta kekayaan kemudian cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, mendorong untuk menjunjung prinsip-prinsip keadilan dan kebijaksanaan, dan tidak melupa- kan bahwa rezeki yang bermanfaat adalah rezeki yang halal, diperoleh dengan cara-cara yang halal, dan dimanfaatkan di jalan Allah (fi- sabilillahi). Bila demikian, maka sikap al-qanaah melahirkan sikap ikhlas terhadap ketentuan dan sikap syukur terhadap nikmat Tuhan (Allah SWT) yang diterima.

Berdasarkan pembagian sabar (al-shabr) yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali seperti diuraikan terdahulu, dapat disimpulkan bahwa konsep sabar yang dibangunnya sangat kompre- hensif. Imam al-Ghazali mampu memetakan hal-hal yang berhubungan dengan akhlak sabar dari berbagai segi. Pemetaan ini sangat penting arti dan fungsinya, sebab kemudian pembagian ter- sebut, orang yang hendak membentuk kepriba dian yang sabar mendapatkan pemahaman yang luas, baik mengenai sarana, kualitas, hukum, objek dan nama sabar sesuai peristiwa yang hidup yang dialami. Pembagian ini sekaligus menunjukkan keluasan dan keterperincian bangunan konsep sabar Imam al-Ghazali dibandingkan dengan tokoh-tokoh sufi sebelumnya.
0 komentar:

Poskan Komentar
http://kajianislamnugraha.blogspot.com

HAKIKAT SABAR



Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar